Air Laut Pasang
Mencegah Rob dengan Pipa
Negeri ini bukan hanya kaya sumber alam, juga punya berbagai macam banjir. Ada banjir karena derasnya curah hujan. Ada pula banjir kiriman dari daerah lain. Selain itu, masih ada banjir rob akibat air laut pasang. Banjir jenis terakhir itulah yang kini melanda sejumlah kota besar Indonesia.
Kawasan yang terkena rob makin luas dengan frekuensi kian meningkat. Lihat saja, ribuan rumah dan ratusan hektare lahan di kawasan pantai utara (pantura) Jawa terendam banjir, sepekan terakhir ini. Sedikitnya 547 rumah dan tambak warga di Desa Legon Kulon dan Mayangan, Subang, Jawa Barat, juga tenggelam akibat banjir.
Genangan banjir rob terjadi di Kabupaten Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, hingga Demak, Jawa Tengah. Bahkan, di ujung Pulau Madura, tepatnya di Kalianget, banjir rob menenggelamkan puluhan hektare tambak garam warga Kecamatan Kalianget dan Saronggi, Sumenep, Jawa Timur.
Jika rob menerjang, Semarang kembali menjadi primadona pemberitaan. Kota ini memang tiap tahun terkena rob. Bahkan penjajah Belanda dulu sibuk mengatasi rob dengan membuat banjir kanal timur dan barat pada abad ke-19. Di mulut kanal itu dipasang pintu-pintu air pasang-surut. Jika air laut pasang dan merambat ke darat, pintu air otomatis menutup.
Tapi, jika terjadi sebaliknya, ketika air sungai meluap, pintu air segera terbuka lebar mengalirkan air ke laut. Hingga kini, berdasarkan sejumlah studi dan penelitian, pintu air pasang-surut ini masih efektif mencegah serbuan banjir rob. Pintu air itu juga sering direkomendasikan agar dibuat di sejumlah sungai untuk mengatur lalu lintas air. Namun rupanya, tak selamanya pintu pasang-surut ini dapat bekerja dengan baik.
Penyebab utamanya adalah terjadinya sedimentasi di kawasan sekitar pintu. Material sedimen ini terbawa arus air dari laut maupun sungai, kemudian menumpuk di sekitar pintu. Sedimen yang ada di depan pintu di kawasan hilir ini menyebabkan pintu pasang-surut tidak dapat beroperasi.
Itulah yang menarik perhatian Ketua Lembaga Penelitian Universitas Sultan Agung (Unissula), Semarang, Slamet Imam Wahyudi. Bersama koleganya, Rinda Karlinasari dan Satrio Utomo, mereka kemudian mencari segala kemungkinan untuk mengusir sedimentasi. "Salah satu cara paling efektif adalah memasang sistem pipa fluidasi di pintu pasang-surut itu," kata Slamet.
Pipa inilah yang nantinya mencegah tumpukan sedimentasi. Awalnya, Slamet membuat pipa fluidasi ini menggunakan pipa berbahan akrilik setebal 3 milimeter, dengan diameter 2 inci dan panjang 1,25 meter. Slamet kemudian membuat serangkaian lubang di sisi pipa sepanjang 1 meter. Diameter lubang sebesar 3 milimeter, dengan jarak antar-lubang mencapai 5 sentimeter.
"Pipa itu kemudian ditanam memanjang di dasar sedimen atau di dalam lidah pasir yang akan dibuka," ujar Slamet. Bagian ujung pipa dihubungkan dengan pompa air. "Kalau pompa air dihidupkan, akan memancarkan air melalui pipa berlubang. Pancaran air ini kemudian mengusik sedimen dasar atau bed load," tutur Slamet.
Lapisan sedimen pun "melayang-layang", berubah menjadi lumpur. Slamet menyebutnya sebagai suspended load. Ketika air terus dipompa melalui pipa, lumpur itu akan hanyut ke daerah yang lebih rendah bersama aliran sungai. Proses penggelontoran sedimen ini bisa berlangsung hampir setengah jam, tergantung kondisi sedimen. "Penggelontoran sedimen ini akan lebih mudah dan lebih cepat dengan adanya aliran air permukaan," kata Slamet.
Walhasil, kawasan sekitar hulu akan terbuka, dan pintu pasang-surut dapat bekerja kembali. Mengoperasikan pipa fluidasi memang mudah. Yang harus sering diperhatikan adalah kondisi dan sifat sedimentasi yang terjadi. Penelitian yang dilakukan Slamet menunjukkan, sistem fluidasi akan bekerja sempurna jika tebal sedimentasi mencapai kira-kira 30 sentimeter.
Ketebalan sedimen itu terbentuk sekitar 15 hari. Jika sedimen sudah menumpuk hingga 40 sentimeter, kata Slamet, pipa fluidasi agak sulit bekerja. Karena itu, sedimen harus digelontorkan dengan pipa fluidasi minimal setengah bulan sekali. "Tapi, kalau penumpukan sedimen lebih cepat, ya, rentang pemakaian pipa harus lebih cepat juga," ujar Slamet.
Selain itu, daya kerja pipa fluidasi bisa diatur dengan merekayasa letak lubang, sehingga arah pancaran air bervariasi. Lubang dapat dibuat secara horizontal berlawanan 180 derajat di sisi kanan-kiri pipa. Atau lubang dapat dibuat bersudut, sehingga pancaran air menjadi 120 derajat atau 90 derajat ke bawah. Namun, hasil penelitian Slamet menunjukkan, rangkaian lubang yang paling efektif membersihkan sedimen adalah yang bersudut 180 derajat.
Menurut Slamet, pipa penggelontor karyanya itu dapat ditempatkan di pintu air mana saja asalkan berjenis pasang-surut. "Bisa juga ditempatkan untuk Jakarta," katanya. Untuk pembuatan pintu air pasang-surut selebar 1,5 meter berikut pipa fluidasinya yang memadai, dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta.
"Jika lebar sungai mencapai 6 meter, misalnya, diperlukan empat pintu air. Jadi, tinggal dikalikan Rp 50 juta," kata Slamet. Biaya yang dikeluarkan bisa lebih mahal jika menggunakan bahan baja. Kalau mau irit, ya, tinggal memanfaatkan pintu air yang sudah ada dan menambah sistem fluidasinya. "Untuk menambah sistem fluidasi saja, biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 7 juta-Rp 8 juta, tergantung kedalaman penanaman pipa di areal sedimentasi," kata doktor bidang hidrolika lulusan Nates University, Prancis, itu.
Penggelontor sedimen ini, kata Slamet, sudah diuji coba di beberapa wilayah pesisir Semarang. Juga di enam desa di Pekalongan, yakni Kandang Panjang, Panjang Wetan, Krapyak Lor, Degayu, Pabean, dan Bandengan. Keenam desa itu memang menjadi langganan banjir rob. Setelah dipasang pintu pasang-surut berikut sistem fluidasinya, daerah yang sering kebanjiran jauh berkurang, tinggal desa.
Berkat hasil kerja keras ini, Slamet terpilih sebagai peneliti penyaji terbaik versi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan, menyisihkan ratusan peneliti yang diseleksi pada Agustus lalu.
Nur Hidayat, dan Syamsul Hidayat (Semarang)