Stres Membuat Kita Pelupa?
Seorang ibu berusia menjelang lansia, sangat cantik, hadir di sebuah ruang konsultasi psikologi. Meski berdandan sangat rapi dan serasi, ekspresi wajah dan gerak tubuhnya menunjukkan ketegangan yang luar biasa.
Masalah yang pertama dikemukakan adalah problem ingatan (memori) yang menurutnya sangat parah. Ia sangat sering lupa di mana meletakkan buku-buku yang biasa di pakai untuk mengajar, lupa meletakkan dompet yang baru saja dipegang, dan sebagainya.
Sepintas, masalah lupa itu sepertinya persoalan biasa yang juga dihadapi orang-orang lain ketika usia semakin lanjut. Pada ibu ini tampaknya ada persoalan lain yang tidak sederhana. Ketegangannya pada saat itu merupakan petunjuk bahwa ia mengalami stres berat.
Penampilan yang elegan dan tutur kata yang cukup runtut tidak dapat menutupi stresnya. Selain ekspresi wajah yang tegang dan gerak tubuh resah, gelombang suaranya tidak stabil, mengesankan ia memiliki problem pernapasan. Ia bertanya kepada psikolog itu, “Menurut Anda saya tampak stres atau tidak?”
Dimulai dengan pertanyaan psikolog mengenai kapan ia mulai mengalami problem memori, sang ibu menjelaskan bahwa ini terjadi sejak ia masih muda, yakni sebelum lulus sarjana. Waktu itu seorang teman karib mengomentari bahwa ia mengalami kemunduran, tidak secerdas dulu, dan ia sendiri membenarkan hal itu. Kita tahu bahwa kecerdasan adalah fungsi kognitif, termasuk memori.
Pengalaman Traumatik
Dengan pertanyaan lebih lanjut, “Apakah ada kejadian-kejadian penting yang berlangsung sebelumnya? si ibu menceritakan rangkaian peristiwa yang mulai mengubah hidupnya menjadi cukup suram. Ia yang sebelumnya sering menjadi bintang kelas (karena cantik dan cerdas), menjadi ketua di salah satu asrama mahasiswa, sibuk dalam berbagai kepanitiaan, sangat buta dalam hal seksualitas, kemudian harus menerima kenyataan ia hamil (karena pacar), harus keluar dari asrama, menunda kuliah, menikah, hidup dengan mertua yang galak, repot membesarkan bayi (di usia muda), mengalami trauma dalam hubungan seksual, persoalan ekonomi rumah tangga, dst.
Meski kemudian dapat berumah tangga mandiri (lepas dari mertua) dan keadaan ekonomi jauh lebih baik, bertambah anak, menikahkan anak, bahkan sampai dikaruniai cucu, sepanjang perjalanan itu persoalan demi persoalan masih saja terjadi.
Berawal dari kesulitan dalam hubungan seksual (yang dianggap tabu untuk dibicarakan), akhirnya berkembang menjadi jurang dalam hubungan dengan suami. Terjadi kehausan akan kasih sayang, sampai-sampai berkembang menjadi keadaan neurotis: sering mengalami kecemasan yang tidak beralasan dan kompulsi dalam merias diri. Ibu tersebut juga sering menderita sesak napas kronis, memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan rekan kerja, dan sederet persoalan lainnya.
Tidak sulit untuk memahami mengapa ibu yang dikenal cerdas dan ceria di masa muda ini akhirnya memiliki problem memori yang cukup parah. Hal ini juga terjadi pada sebagian orang yang telah mengalami stres berat, seperti halnya mereka yang mengalami stres pasca pengalaman traumatik (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).
Namun, hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang mengalami tekanan (stressor) selalu berisiko mengalami problem memori. Ada hal-hal lain yang ikut menentukan merosotnya daya ingat atau fungsi memori.
Faktor Usia
Dalam kasus ibu tadi, faktor usia tentu saja juga berpengaruh terhadap kemerosotan daya ingat. Wajar bila orang yang memasuki usia tengah baya mengalami kesulitan dalam memperhatikan, belajar, dan mengingat kembali.
Pada masa-masa itu sebagian besar orang mengalami proses degeneratif pada sel-sel saraf otak yang menjalankan tugas menerima–menyalurkan–menyimpan informasi atau pengetahuan. Komunikasi antarsel saraf (neuron) yang terjadi pada saat kita melakukan proses mengingat atau melakukan fungsi kognitif lain telah berkurang atau terganggu setelah seseorang memasuki usia lebih lanjut.
Mengenai pengaruh faktor usia, dapat dikatakan bahwa sel-sel saraf otak memang sebagian mengalami kerusakan setelah seseorang menjadi tua. Namun, perlu kita ketahui bahwa neuron-neuron baru juga tumbuh (proses neurogenesis) sepanjang hidup kita, meski tidak sebanyak pertumbuhan pada masa kanak-kanak dan remaja. Dengan demikian, kita dapat menemukan adanya orang-orang lanjut usia yang fungsi kognitifnya tetap efektif.
Gangguan Emosi dan Kognisi
Selain faktor usia yang memberikan kemungkinan penurunan fungsi memori, peristiwa-peristiwa hidup yang sangat menekan yang terus ditanggapi dengan emosi negatif merupakan pemicu terjadinya penurunan fungsi kognitif dalam kasus ibu di atas. Dalam keadaan stres berat dan depresi seseorang memang cenderung mengalami penurunan fungsi kognitif (tidak mampu memahami sesuatu dengan baik, berpikir dengan lancar, termasuk mengingat informasi dengan baik).
Bagaimana hal ini terjadi? Aaron P. Nelson dari Harvard Medical School yang aktif sebagai praktisi yang menangani masalah-masalah memori, menegaskan bahwa gangguan psikologis seperti depresi, PTSD, dan stres berat, dapat mengganggu tercapainya ingatan yang optimal. Meski demikian, bila masalah psikologis itu diatasi, fungsi ingatan akan pulih.
Depresi dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, berfokus pada detail, dan menyerap informasi baru. Gangguan tidur yang sering menyertai depresi jelas menyebabkan permasalahan kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang depresi dapat menyebabkan hilangnya neuron pada hipokampus dan amigdala, yaitu bagian otak yang sangat penting bagi ingatan.
Sebuah penelitian yang diakses oleh Nelson menunjukkan bahwa wanita yang memiliki sejarah depresi yang terus-menerus memiliki hipokampus dan amigdala lebih kecil (terjadi penyusutan neuron-neuron) daripada wanita yang tidak depresi. Wanita itu memiliki performa buruk dalam tes ingatan verbal.
Dalam pengalaman praktik klinik Nelson, kombinasi psikoterapi dan pengobatan terhadap depresi serta gangguan tidurnya dapat mengatasi masalah tersebut dengan baik dan mengembalikan fungsi-fungsi kognitifnya secara menyeluruh. Hal ini dimungkinkan bila keadaan depresinya tidak berkembang menjadi penyakit alzheimer (penyakit lupa yang memiliki dasar neurologis) yang memerlukan penanganan lebih khusus.
Dalam kasus PTSD, ingatan terus-menerus akan peristiwa traumatik yang terjadi telah mengganggu proses akuisisi informasi baru dan mengingat informasi yang tidak ada kaitannya dengan trauma yang dialami. Yang menjadi persoalan adalah terjadinya stres serius yang terus-menerus ini mendorong diproduksinya hormon kortisol, yang pada akhirnya merusak struktur otak yang penting bagi ingatan, yaitu pada hipokampus dan sistem limbik.
Pada kasus stres umum yang mengakibatkan gangguan memori, dapat ditegaskan bahwa reaksi terhadap streslah yang merusak. Masing-masing dari kita menghadapi stres dengan cara berbeda. Ada orang yang bekerja dalam tekanan tinggi dalam jangka waktu lama, tetapi dapat tetap terjaga fungsi memorinya, sementara orang-orang lain dalam situasi tersebut telah kewalahan. Jadi yang menjadi persoalan adalah bagaimana respon kita terhadap stres, bukan pada sumber stres (stressor).
Dalam hal ini berlaku sama seperti yang telah dijelaskan, stres yang intensif memicu pelepasan hormon kortisol yang dapat mengganggu ingatan. Jadi yang penting adalah menemukan cara memodifikasi respon terhadap stres.
Sebagian orang dapat mengatasi stres dengan aktivitas fisik seperti berolahraga. Beberapa orang lain dapat mengatasi stres dengan melakukan rileksasi atau meditasi. Sebagian lainnya melakukan pengenalan terhadap batas stres yang tidak dapat ditoleransi, dan selanjutnya secara asertif (tegas tetapi sopan) menolak tugas-tugas yang tidak dapat ditanggungnya lagi.