Idola baru Indonesia! Itu kalimat tepat buat anthurium, si raja daun yang lagi naik daun. Pejabat, pengusaha, hingga tukang becak 'menyantapnya' sebagai obrolan sehari-hari sejak 1,5 tahun silam. Ia disebut-sebut sebagai tanaman investasi. Namun, ahli statistik, marketing, keuangan, dan investasi sepakat memberi peringatan: 'Itu pasar semu, bisnis musiman, dan bubble phenomenon alias hitung-hitungan busa.' Benarkah bisnis anthurium hanya omong kosong?
Dunia tanaman hias-termasuk anthurium-di Indonesia memang unik. Saya mengamati perkembangan tanaman hias sejak 23 tahun silam. Tren tanaman hias selalu berganti, bagaikan sebuah roda yang berputar. Banyak tanaman yang sebelumnya tak populer tiba-tiba mencuat ke permukaan. Sebut saja palm, sansevieria, euphorbia, adenium, dan aglaonema. Mereka pernah menjadi tanaman hias berharga mahal.
Diakui atau tidak tanaman hias itu populer karena ada faktor pemicu. Lazimnya dibuat segelintir orang yang kerap disebut trensetter. Ia bisa perorangan atau pun kumpulan orang yang belum tentu saling mengenal. Namun, vonis bisnis semu tak otomatis layak diberikan pada komoditas yang trennya dibuat segelintir orang. Pengalaman sejak 1984 membuktikan, end user tanaman hias di Indonesia memang ada.
End user itu berupa kolektor yang berani membeli dengan harga tinggi-dari jutaan hingga miliaran rupiah-dan hobiis rumah tangga yang hanya menyerap tanaman hias bernilai ratusan ribu ribu. Jumlah mereka selalu bertambah dari masa ke masa. Banyak hipotesis yang menjelaskan mengapa jumlah itu selalu bertambah. Publikasi media, pertumbuhan ekonomi yang kian membaik, mitos, dan sejarah di balik tanaman, hingga budaya masyarakat Indonesia turut mempersubur sebuah tanaman menjadi klangenan yang dicintai.
Nyata
Pergulatan anthurium dan saya sebagai ketua umum Perhimpunan Florikultura Indonesia (PFI) bisa menjadi contoh. Mulanya saya tergolong orang yang mencibir dan meragukan kehadiran anthurium sebagai idola baru. Bentuk dan warna daun yang hijau monoton tak semenarik aglaonema. Maklum, selama ini saya dikenal sebagai pemain aglaonema dan kolektor enchephalartos.
Namun, setelah iseng-iseng mengoleksi 1-2 anthurium dan mengamati secara detail di waktu senggang, anthurium seolah memancarkan sebuah aura. Ketebalan, tekstur, dan urat daun yang kokoh menarik saya untuk mencintainya. Ia menyimbolkan sebuah kegagahan. Itu yang belum saya temui pada tanaman hias indoor lain. Itu kisah setahun silam, kala saya jatuh cinta pada anthurium. Tentu kolektor lain banyak yang mengalami kejadian seperti itu.
Harga yang terus bergerak pun menjadi daya tarik bisnis. Saya mengalami sendiri, sebuah anthurium kobra berdaun 5 yang dibeli Rp12,5-juta pada Februari 2007 kembali ke tangan saya 3 kali dengan harga yang terus merangkak naik. Kobra itu dijual pada Maret 2007 senilai Rp50-juta, dan saya beli kembali pada April seharga Rp68-juta. Lalu kolektor lain membelinya Rp90-juta pada Juli 2007. Saya membelinya kembali dengan harga Rp125-juta untuk persiapan pameran. Meski tak laku pada pameran, November lalu, seorang kolektor mengambilnya dengan harga Rp180-juta.
Sebuah transaksi yang nyata dan tak ada seorang pun kolektor dirugikan. Saya dan pelanggan sama-sama untung karena kobra itu selalu dibeli dengan harga lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Pertanyaan yang kerap diajukan ialah, apa motivasi seorang kolektor berani membeli dengan harga tinggi? Jawabannya sederhana, sebuah prestise. Memang, anthurium bukanlah barang sembako yang menjadi kebutuhan primer setiap orang. Namun, akar sejarah dan budaya masyarakat Indonesia membuktikan, prestise bagi masyarakat Nusantara menjadi sebuah kebutuhan penting.
Kebutuhan pada prestise itu dimiliki setiap lapisan masyarakat. Artinya, setiap orang rela membelanjakan uangnya demi sebuah prestise sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Sebagai contoh, baru-baru ini saya menemukan sebuah desa di kaki Gunung Lawu. Penduduk desa itu dengan pendapatan ekonomi seadanya mengoleksi anthurium selama puluhan tahun. Tak seorangpun berniat melepasnya meski ditawar dengan harga tinggi. Menurut mereka, anthurium ialah tanaman yang dirawat oleh raja-raja di masa silam. Memiliki tanaman koleksi raja menjadi sebuah kebanggaan yang tak dapat dinilai dengan harta benda.
Bukti ramalan
Perjalanan ke berbagai daerah di pelosok Jawa juga membuat mata saya terbuka. Ternyata nilai sebuah daun bagi masyarakat Nusantara-khususnya Jawa-sangat penting. Seorang tetua yang mengenal budaya Jawa pernah mengatakan ada sebuah ramalan Jayabaya tentang daun yang fenomenal. Konon, penguasa Kediri pada 1135-1159 M itu pernah meramal, di masa depan semua barang di dunia-rumah, kendaraan, tanah, senjata-bisa ditukar oleh selembar daun.
Mungkin itu berkaitan dengan cerita mistik yang kerap kita dengar, banyak orang sakti berbelanja dengan daun yang disihir menjadi uang. Namun, ramalan itu ternyata terbukti. Sejak tren aglaonema selembar daun dinilai sebagai rupiah. Ramalan itu kian nyata pada anthurium. Banyak transaksi rumah, tanah, dan kendaraan di sentra anthurium Karanganyar, Solo, dan Yogyakarta, menggunakan daun, si raja daun anthurium.
Itu cerita masa lalu yang menjadi nyata saat ini. Prestise memiliki anthurium pun menghinggapi kalangan artis yang kerap menjadi publik figur. Sebut saja Rano Karno, artis yang giat memproduksi pupuk organik. Ia pernah mengatakan, jangan mengaku kaya di Indonesia bila belum memiliki anthurium. Artinya, simbol kemapanan bukanlah sekadar mempunyai tempat tinggal, wanita, dan kendaraan saja. Seseorang belum diakui hidup mapan bila belum memiliki anthurium. Dalam artian lebih luas lagi, bila belum memiliki klangenan.
Mitos, sejarah, dan budaya itu menjadi modal anthurium untuk populer. Ia kian melejit karena publikasi media yang jor-joran. Tak hanya media pertanian yang mengulasnya. Media cetak umum mengulasnya dalam waktu yang berdekatan. Hampir seluruh televisi pun mempublikasikannya. Belum lagi tabloid pertanian di daerah yang menjamur. Konon, ada 15 media baru yang muncul karena anthurium. Mirip menjamurnya tabloid politik di era reformasi karena dibukanya keran kebebasan.
Akibatnya, masyarakat Nusantara dari Sabang sampai Merauke tersihir oleh anthurium. Pecinta dan pemain si raja daun kian bertambah. Segelintir orang bermodal besar yang mulanya memicu tren anthurium tak lagi bisa mengendalikan. Siapa yang sanggup mengatur ribuan orang? Namun, seperti roda yang berputar, semua tren memiliki zaman masing-masing. Kejenuhan di masa depan ialah sebuah keniscayaan. Sayang, tak ada yang bisa meramalnya kapan itu terjadi. (Iwan Hendrayanta, ketua umum Perhimpunan Florikultura Indonesia, tinggal di Jakarta)
|